Kehidupan bersama Beni memang membosankan, secara seksual maksudnya. Beni sebenarnya seorang yang baik dan bertanggung jawab. Semua kebutuhan rumah tangga telah dipenuhi olehnya sehingga aku tak perlu bekerja. Kenyataannya, itu justru menjadi bagian dari masalahku. Sebagai seorang wanita berusia 22 tahun tanpa anak, yang menikah dengan seorang pria pekerja yang konservatif berusia 35 tahun, membuatku mempunyai sangat banyak waktu untuk berkhayal macam-macam. Aku juga mempunyai sangat banyak waktu untuk bermasturbasi.
Jika mau berusaha, mungkin aku bisa saja mencari seorang kekasih gelap. Aku memiliki wajah dan tubuh yang lebih dari cukup untuk kupakai guna menarik lelaki mana pun yang kumau, tapi aku tak pernah melakukannya. Alasan utama untuk tidak melakukan hal semacam itu adalah karena pendidikan moral yang sangat ketat yang kuterima sejak kecil. Aku menjalani masa kecilku dalam sebuah keluarga **** (edited) yang taat di pedalaman Jawa Tengah. Walaupun ibuku orang Belanda, namun beliau sangatlah puritan.
Keadaan di tempat tinggalku sekarang tidak lebih baik, tapi paling tidak tak ada seorang pun yang mengenalku di sini. Kami tinggal di daerah yang asalnya direncanakan sebagai kota baru di luar kota Jakarta. Krisis moneter menyebabkan pembangunan kota baru ini terhenti total. Perusahaan pengembangnya pun telah bangkrut, padahal pembangunannya belum mencapai 15% dari rencana semula. Rumah mungil kami terletak di lingkungan yang terpencil dekat sebuah pabrik. Hanya sedikit orang di sini yang berhubungan dengan tetangganya. Kebanyakan tetangga kami bekerja di pabrik itu, sedangkan suamiku bekerja di Jakarta. Mereka tak bersosialisasi dengan orang luar seperti kami. Rumah-rumah di sini terpisah cukup jauh satu sama lainnya. Hanya ada satu rumah yang terletak tepat di seberang rumah kami. Rumah itu pun sudah lama kosong.
Ketika rumah itu akhirnya ditempati oleh sepasang suami isteri, aku merasa kegirangan. Kuputuskan untuk melakukan usaha supaya dapat bertemu mereka. Mereka adalah pasangan tua. Usia mereka sekitar 50-an, tapi aku selalu dapat bergaul dengan orang-orang yang lebih tua. Nampaknya mereka baik dan ramah. Mungkin mereka ingin menghabiskan masa pensiunnya di tempat yang terpencil ini. Kupikir mereka bisa menjadi sahabat yang baik.
Setelah suamiku berangkat ke kantor, aku berdandan dan mengenakan gaun satu potong yang berukuran mini. Udara di sini memang panas. Setelah mengumpulkan segenap keberanian, kuambil sekeranjang buah-buahan yang telah kusiapkan dan menuju rumah mereka. Bawaanku lumayan berat sehingga aku harus memegangnya dengan kedua tanganku.
Ketika si suami membukakan pintu, kuucapkan salam dan kuperkenalkan diriku. Lelaki itu memintaku menunggu sebentar lalu menutup pintu persis di depanku. Aku berdiri tertegun mendapatkan sambutan seperti itu dan merasa sedikit tersinggung.
Aku menunggu beberapa menit. Baru saja aku hendak beranjak pergi, ketika pintu kembali terbuka dan mereka berdua berdiri di sana mempersilakanku untuk masuk. Aku tersenyum sambil melangkah masuk, berharap seseorang mengambil keranjang buah dari tanganku. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu masuk ke dalam rokku dari arah belakang. Sesuatu yang basah menyentuh paha bagian dalamku, dekat selangkangan. Ketika jilatan hangat dari lidah yang basah menjalari selangkanganku, barulah aku sadar kalau mereka memiliki seekor anjing. Anjing yang besar. Anjing yang besar dan cabul. Aku tak habis pikir, mengapa mereka tak menempatkan hewan yang nakal seperti itu di luar sebelum mengundang seorang wanita masuk ke dalam rumah mereka.
Aku berusaha untuk tidak gelagapan dengan harapan si istri melihat apa yang terjadi dan menolongku. Sayangnya ia tampaknya malah sibuk mengagumi buah-buahan yang kubawa. Akhirnya aku menggeserkan sedikit badanku sehingga seharusnya ia dapat melihat di mana anjing miliknya meletakkan kepalanya. Akan tetapi ternyata ia bersikap seolah-olah tidak melihatnya, dan kenyataan itu benar-benar menggangguku. Sementara itu, tanganku mulai terasa pegal dan lututku terasa lemas.
Si anjing pindah ke hadapanku dan mulai mengendus-endus ke dalam rokku lagi. Kali ini ia menempelkan moncongnya ke klitorisku yang terasa membara dan menjilatinya dengan lebih keras lagi. Kali ini aku benar-benar yakin, pasangan ini mengetahui tingkah laku anjingnya, karena mereka justru memberi ruang bagi si anjing untuk mengakses diriku. Selama tanganku memegang keranjang, aku tak dapat berbuat apa-apa dan sepenuhnya berada di dalam kendali anjing mereka, dan mereka sengaja membiarkan itu terjadi. Kenyataan itu serasa menyiramkan aliran listrik yang menggetarkan seluruh urat syarafku. Mereka membiarkanku menyesuaikan diri dengan jilatan-jilatan cabul anjing mereka dengan mengajakku ngobrol sekedar berbasa-basi, dan aku pun melayaninya.
Beberapa menit berlalu sudah. Ketika mereka melihat bahwa aku tidak menunjukkan tanda-tanda akan kabur ke arah pintu, si istri mengambil keranjang buah itu dari tanganku. Tinggallah aku berdiri di hadapan mereka dengan kepala anjing mereka bergerak-gerak dengan kencangnya di dalam rokku. Saat itu juga aku menginginkan keranjang buah itu kembali karena aku tak tahu apa yang harus kuperbuat dengan kedua tanganku.
Aku harus melakukan sesuatu, maka kudorong kepala anjing yang sedang birahi itu. Sedikit menunjukkan penolakan rasanya merupakan tindakan yang tepat dalam situasi seperti itu. Usaha itu sia-sia. Aku tahu wajahku sudah seperti udang rebus, namun pertolongan dari pasangan itu tak kunjung datang. Aku bahkan bisa melihat mata mereka terfokus pada selangkanganku dengan seringai gembira ketika ujung rokku terlempar ke atas pada setiap sentakan kepala anjing mereka.
Aku tak tahu harus berbuat apa. Perlahan, aku berhenti melawan. Lidah anjing itu membuatku gila. Sentakan-sentakan dari daging lembut panjang yang basah dan hangat itu membawaku ke puncak kenikmatan. Aku tak ingin jilatan-jilatan yang nikmat itu berhenti. Sandra dan Parulian **** (edited), pasangan suami istri itu terus mengajakku ngobrol seolah-olah tak ada sesuatu yang luar biasa yang terjadi. Aku pun tetap melayani mereka. Situasi ini menambah rangsangan pada diriku. Mereka memainkan semacam permainan denganku dan aku mulai menyukai permainan ini.
Setelah puas ngobrol, Sandra mendekatiku dan menawariku untuk duduk. Dia memeluk pundakku dan membimbingku ke sofa. Aku melangkah dengan hati-hati supaya tak mengganggu aktifitas anjing mereka. Ketika aku terduduk, anjing itu segera membuatku terkejut. Anjing labrador hitam yang besar itu mencengkeram paha kananku yang terbuka dan mulai memompa kemaluannya seolah-olah sedang bersetubuh dengan seekor betina. Aku dapat merasakan kontolnya yang panjang dan tebal bergerak menggesek-gesek kaki mulusku yang telanjang. Sandra dan Parulian duduk mengapitku sementara anjing mereka terus mengunci kakiku dan memompanya.
Kepala anjing itu berada tepat di atas payudara kananku, air liurnya menetes ke atas dadaku yang terbuka. Sekilas aku menengok ke bawah dan melihat batang kelamin yang besar dan merah menyala bergesekan dengan kaki bagian dalamku. Batang kelaminnya terasa begitu panas, licin dan keras.
Parulian menepuk-nepuk kepala anjing itu. Dia sebenarnya mengarahkan kepala anjingnya sehingga lidahnya terus-menerus meneteskan air liur tepat di antara belahan dadaku. Posisi wajahku berada sangat dekat dengan mulut anjing itu. Aku dapat merasakan hembusan nafas anjingnya menerpa wajahku. Air liurnya pun kadang terpercik ke wajahku. Kejadian ini benar-benar porno dan cabul, tapi sekaligus juga merangsang birahiku. Aku berusaha keras menahan keinginan untuk mengisap lidah anjing itu yang tergantung-gantung. Akhirnya anjing itu menyemprotkan air maninya dalam jumlah yang besar ke sekujur kaki kananku.
Anjing itu menjilati wajahku sementara otot-otot mulutku mengendur. Lidahnya menyusup masuk ke dalam mulutku, membuatku terkejut. Ia berulang-ulang menjilati bagian dalam mulutku, sesuatu yang tak pernah dilakukan oleh seekor anjing pun terhadapku. Aku membiarkannya melakukan apa pun yang diinginkannya. Dengan sadar kubiarkan mulutku tetap terbuka untuk meneruskan french kiss yang tak lazim ini.
Sandra berkata, "Menyenangkan ya, Sayang? Bruno kini memiliki seorang teman wanita." Bruno, anjing itu, lalu melepaskan kakiku yang basah kuyup karena air maninya. Suami istri itu terus mengajakku ngobrol sementara air mani anjing mereka bergerak turun menelusuri kakiku yang terekspos sampai ke selangkangan. Aku berusaha tetap bersikap normal walaupun mata mereka hampir-hampir tak lepas menatap kakiku. Aku tak merasa perlu untuk merapikan rokku yang berantakan.
"Kami sangat menghargaimu karena mau melayani anjing kami yang berperilaku buruk. Kebanyakan wanita tak mau melakukan hal itu. Kami khususnya menghargaimu karena mengizinkan Bruno untuk melepaskan birahinya pada kakimu yang indah. Bukankah kaki Maria indah, Sayang?" kata Sandra.
"Sangat indah. Aku yakin Bruno sangat terpuaskan dengannya", jawab Parulian.
Mereka menolongku berdiri dan membimbingku ke pintu. Masih dengan penampilan yang berantakan dan birahi yang bergejolak, aku melangkah melewati pintu. Saat itu Sandra berkata, "Kembalilah kapan saja ada waktu. Aku yakin Bruno akan senang menemuimu lagi."
Setelah itu pintu pun tertutup dan sayup-sayup dapat kudengar tawa senang mereka di baliknya. Aku menyeberangi jalan dengan setengah berlari. Aku benar-benar merasa shock. Setibanya di rumah aku bermasturbasi sambil mandi di pancuran, lalu di atas tempat tidur setelah mandi, ketika memasak makan malam dan dua kali lagi sebelum akhirnya aku beristirahat. Kejadian pagi itu benar-benar membangkitkan fantasi yang luar biasa bagi diriku.
Dua hari kemudian, aku kembali ke rumah pasangan tersebut. Ketika melihatku, mereka tahu persis maksud kedatanganku. Aku yakin mereka tahu. Mereka tak perlu lagi penjelasan. Parulian mempersilakanku untuk masuk sementara Sandra pergi ke belakang untuk memanggil anjing mereka. Hal yang sama kembali terulang, hanya kali ini aku jauh lebih siap. Aku tak mengenakan pakaian dalam sama sekali di balik gaun satu potong ketat dan mini yang kupakai. Aku telah kehilangan rasa malu yang menghambatku. Pasangan suami istri tetanggaku tersebut tampak kaget dan senang mengetahui hal ini. Apalagi ketika Bruno mengalami orgasme dan semprotan air maninya sampai ke liang senggamaku dan membasahinya.
Setelah itu, aku semakin berani. Kami meneruskan acara dengan berdiri dan berjalan mengelilingi seisi rumah. Sementara Bruno dengan setia mengikutiku. Kepalanya senantiasa menyusup ke dalam rokku yang sangat pendek. Kami semua bersikap seolah mengabaikan anjing itu. Dengan gaun satu potong yang sangat ketat menempel di badan, sodokan moncong Bruno yang terus-menerus dari depan maupun belakang mengakibatkan terdorongnya rokku sampai ke pinggul. Aku tak pernah merapikannya kembali dan terus membiarkan Bruno menelanjangi dan menjilati selangkanganku.
Sekali-sekali mereka memberikan komentar seperti, "Aku tak dapat mengatakan betapa senangnya kami menemukan seorang wanita yang mau melayani anjing kami", atau yang sejenisnya. Aku membiarkan mereka tahu kalau aku menikmati pernyataan-pernyataan yang kasar dan cabul itu.
Sandra kemudian berkata, "Ya begitu. Apa lidah si Bruno masuk ke dalam memekmu, Maria?"
"Ya, langsung ke dalam rahimku, kurasa", jawabku.
Ia tersenyum dan berkata, "Kau benar-benar manis mau melakukan itu untuknya. Aku tak tahu ada wanita sepertimu di sini. Kami tadinya sudah siap-siap untuk menyewa seorang wanita profesional, tapi di mana kau bisa temukan wanita yang mau menyewakan tubuhnya sendiri sebagai betina untuk memuaskan birahi seekor anjing piaraan?"
Aku menyukainya. Aku mengatakan padanya bahwa aku dengan senang hati mau bertindak sebagai betina untuk anjing jantan mereka dengan gratis.
Sandra berkata, "Maria, kupikir Bruno lebih senang jika kau melakukan pelayanan ini dengan bugil. Seekor betina tidak mengenakan pakaian, bukan?" Aku pun melucuti pakaianku. Sejak itu, mereka menyebutku sebagai betina, atau betina si Bruno.
Bersambung ke bagian 02
Tidak ada komentar:
Posting Komentar