Selasa, 26 Februari 2013
Indahnya Tubuh Anak Pelangganku - 02
Sambungan dari bagian 01
Akhirnya kutuntun batang kejantananku ke arah liang kewanitaan Anita. Liang kewanitaan Anita yang telah kebanjiran sangat berguna sekali, bibir kemaluannya yang kencang memudahkan batang kejantananku menyelinap ke dalam. Sedikit-sedikit kudorong maju. Dan setiap dorongan membuat Anita meremas kain sprei. Kalau Anita merasa seperti kesakitan aku mundur sedikit, lalu maju lagi, mundur sedikit, maju lagi, mundur, maju, mundur, maju, "bless.." Tak kusangka liang kewanitaan Anita mampu menerima batang kejantananku yang keterlaluan besarnya. Begitu amblas seluruh batang kejantananku, Anita menjerit kesakitan. Aku kurang menghiraukan jeritannya. Kenikmatan yang tak ada duanya telah merasuki tubuhku. Tapi aku tetap menjaga irama permainanku maju-mundur dengan perlahan. Menikmati setiap gesekan demi gesekan. Liang senggama Anita sempit sekali hingga setiap berdenyut membuatku melayang. Denyutan demi denyutan membuatku semakin tak mampu lagi menahan luapan gelora persetubuhan. Terasa beberapa kali Anita mengejankan liang kewanitaannya yang bagiku malah memabukkan karena liang kewanitaannya jadi semakin keras menjepit batang kejantananku. Erangan, rintihan, dan jeritan Anita terus menggema memenuhi ruangan. Rupanya Anita pun menikmati setiap gerakan batang kejantananku. Rintihannya mengeras setiap batang kejantananku melaju cepat ke dasar liang senggamanya. Dan mengerang lirih ketika kutarik batang kejantananku. Hingga akhirnya aku sudah tidak bisa bertahan lebih lama lagi.
Ketika batang kejantananku melaju dengan kecepatan tinggi, meledaklah muatan di dalamnya. batang kejantananku menghujam keras, dan kandas di dasar jurang. Anita pun melengking panjang sambil mendekap kencang tubuhku, lalu tubuhnya bergetar hebat. Sebuah kenikmatan tanpa cela, sempurna.
Keesokkan harinya aku mendapat telepon dari Ibu Yuli. Perasaanku mendadak tegang dan kacau, kuatir beliau mengetahui skandalku dengan anaknya. Mulanya aku tidak berani menerimanya, tapi daripada Ibu Yuli nanti ngomongin semua perbuatanku pada teman sekerjaku, terpaksa kuterima teleponnya dengan nada gemetar.
"Halloo.. apa kabar Bu Yuli."
"Oh baik, terima kasih lho, parabola Ibu sekarang sudah bagus, dan sekalian Ibu mau nanyakan ongkos servisnya berapa.. "
"Ah. nggak usah deh, Bu.. Cuman rusak sedikit kok, hanya karena kena angin jadi arahnya berubah."
"Jangan begitu, nanti Ibu nggak mau nyervis ke tempatmu lagi lho."
"Wah.. tapi saya cuman sebentar saja kerjanya."
"Iya, bagaimanapun khan kamu sudah keluar keringat, jadi ibu mesti bayar. Nanti siang yach, kamu ke rumah ibu. Ibu tunggu lho."
"Iya dech kalau Ibu maunya begitu, tapi sebelumnya terima kasih, Bu."
Begitulah akhirnya aku nongol lagi di rumah Ibu Yuli. Lagi-lagi Nita yang menerimaku.
"Wah, terlambat Oom. Ibu dari tadi nungguin Oom datang. Barusan saja Ibu pergi arisan ke kantornya. Tapi masuk saja Oom, soalnya ada titipan dari ibu."
Sampai di dalam, kelihatannya Nita tengah belajar bersama dengan teman-temannya. Ada 3 orang cewek sebayanya lagi asyik membahas soal Fisika. Dan kedatanganku sedikit memecah konsentrasi mereka. Kuamati sekilas teman Nita kok cakep-cakep yach. Aku membalas sapaan mereka yang ramah.
"Kenalin ini Oom gue yang baru datang dari Jawa Tengah."
Kaget juga aku dikerjain Nita. Satu persatu kusalami mereka, Lusi, Ita, dan Indra. Senyum mereka ceria sekali. Di usia mereka memang belum mengenal kepahitan hidup. Semuanya serba mudah, mau ini tinggal bilang ke mama, mau itu tinggal bilang ke papa. Dasar anak keju. Ketiganya memang jelas kelihatan anak orang kaya. Penampilan, gaya, dan kulit mulus mereka yang membedakan dari orang miskin. Lusi punya lesung pipit seperti aktris Italy. Ita wajahnya mengingatkanku pada seorang aktris sinetron yang lemah lembut, tapi yang ini agak genit. Indra yang berbadan paling besar mirip seorang aktris Mandarin. Persis aktris-aktris lagi makan rujak bareng. Habis aku paling bingung kalau mendeskripsikan wanita cantik, rasanya nggak cukup selembar folio.
Aku menurut saja ketika tanganku di seret ke dalam oleh Nita sambil berpamitan pada temannya mau mengantar Oomnya ke kamar. Dan setelah mengunci pintu kamar, kekagetanku tambah satu lagi. Tubuhku langsung direbahkan ke kasur, lalu menindihku sambil mulutnya menciumiku.
"Oom, Nita mau lagi." rengeknya manja. Ya, ampun sungguh mati aku nggak bisa menolaknya. Aku pun segera membalas ciumannya. Nafsu birahiku menanjak tajam. Anita yang masih mengenakan seragam SMP-nya terguling ke samping hingga giliranku yang di atas. Kancing bajunya satu demi satu kulepas. Buah dadanya yang terbungkus BH kuremas dengan gemas. Dari leher hingga perutnya kutelusuri agak brutal. Dan Nita yang meronta-ronta tak kuberi ampun sedikitpun. Kakinya mengangkang lebar kala tanganku mulai merambat ke atas pahanya dan berhenti tepat di tengah selangkangan. Gundukan kemaluan yang empuk membuat tanganku gemetar kala meremasnya. Dan jari tengahku mencongkel sebuah liang yang menganga di tengahnya. Celana dalam Nita mulai lembab kelihatannya tak tahan menghadapi serangan yang bertubi-tubi.
Akupun sangat merindukan Nita, hingga rasanya tak sabar lagi untuk segera menancapkan batang kemaluanku. Segera kupeloroti celana dalamnya setelah roknya kusingkap ke atas. Kerinduan akan baunya yang khas membuat kepalaku tertarik ke arah kemaluan Nita, lalu kubenamkan di sela pahanya. Mulutku memperoleh kenikmatan yang tiada tara kala mengunyah dan memainkan bibirku pada bibir kemaluannya. Nita pun semakin menggila gerakannya apalagi bila lidahku mengorek-ngorek isi kemaluannya. Nikmat sekali rasanya. Klitorisnya yang menyembul kecil jadi sasaran bila Nita menghentak badannya ke atas. Sepertinya Nita sudah 'out of control' karena tangannya dengan kacau meremas segala yang dapat diraih. Demikian juga halnya denganku, entah berapa cc cairan memabukkan yang telah kureguk.
Batang kemaluanku yang sudah 'maximal' kuarahkan ke liang senggama Nita. Sekilas kulihat Nita menggigit bibirnya sendiri menanti kedatangan punyaku. Akupun tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang sangat langka ini. Benar-benar kunikmati tiap tahapan batangku melesak ke dalam liang kemaluannya. Sedikit demi sedikit batang kemaluanku kutekan ke bawah. Indah sekali menyaksikan perubahan wajah Nita kala makin dalam kemaluanku menelusuri liang kemaluannya. Akhirnya, "Bless.."
Habis sudah seluruh batang kemaluanku terbenam ke liang kenikmatannya. Selanjutnya dengan lancar kutarik dan kubenamkan lagi. Makin lama makin asyik saja. Memang luar biasa kemaluan Nita, begitu lembut dan mencengkeram. Ingin rasanya berlama-lama dalam liang kemaluannya. Semakin lama semakin dahsyat aku menghujamkan batangku sampai Nita menjerit tak kuasa menahan kenikmatan yang menjajahnya. Hingga akhirnya Nita berkelojotan sambil meremas ganas rambutku. Wajahnya tersapu warna merah seakan segenap pembuluh darahnya menegang kencang, hingga mulutnya meneriakkan jeritan yang panjang. Kiranya Nita tengah mengalami puncak orgasme yang merasuki segenap ujung syarafnya.
Menyaksikan pemandangan seperti ini membuatku makin cepat mengayunkan batang kemaluanku. Dan rasanya aku tak bisa menahan lebih lama lagi, lebih lama lagi.., lebih lama lagi. Secepatnya kucabut batang kemaluanku dan segera kuarahkan ke mulut Nita. Nita agak gugup menerima batang kemaluanku. Tapi nalurinya bekerja dengan baik, mulutnya segera menganga dan langsung mengulum batang kemaluanku. Dan kala aku meledakkan lahar, lidahnya menjilati sekujur batang kemaluanku. Tubuhku rasanya langsung luruh, tenagaku terkuras habis-habisan. Beberapa kali batang kemaluanku mengejut dan mengeluarkan lahar. Oh, my God..
Keasyikanku berdua dengan Nita membuat kami tidak merasakan jam yang terus berjalan. Tidak terasa hampir 3 jam kami meninggalkan teman-teman Nita di luar. Sekilas terdengar suara kasak-kusuk, seperti ada orang lagi mengintip perbuatan kami. Tapi saking asyiknya menikmati tubuh Nita, aku jadi tak mempedulikannya. Kulirik Nita masih tergolek tanpa penutup apa-apa dengan tubuh terlentang kelelahan. Wajahnya yang terlihat polos sangat indah dengan paduan tubuh kecil yang mulus. Kakinya masih membuka lebar, seperti sengaja memamerkan keindahan lekukan di selangkangannya. Gundukan kemaluannya memang belum berbulu sehingga jelas kelihatan bibir kemaluannya yang merah muda.
"Nit, teman-temanmu kelihatannya lagi pada ngintip lho." kataku berbisik di telinganya.
"Hehh..?" jawabnya sambil segera menutupi tubuhnya dengan selimut.
"Teman-temanmu.." sekali lagi aku meyakinkannya sambil menunjuk ke pintu.
"Wwaduhh, gimana nich.. Oom."
"Tenang aja, cepat pakai baju lagi dan seakan-akan nggak ada apa-apa, okey?"
"Tapi Nita jadi malu sama mereka dong," katanya manja dan wajahnya berubah merah sekali.
"Sudah dech jangan dipikirin, anggap aja kita nggak tahu kalau mereka pada ngintip."
Akhirnya kami keluar kamar juga, dan teman-teman Nita kelihatan sekali pura-pura sibuk mengerjakan soal-soal. Terlebih wajah mereka bertiga tersapu rona merah, dan tampak menahan senyum. Wah agak grogi juga aku untuk menyapa mereka. Sekali lagi aku tertolong oleh usiaku yang jauh di atas mereka. Kata orang langkah awal memang sulit untuk dilakukan.
"Hallo, belum selesai nich soal-soalnya?" kata awal yang akhirnya meluncur juga.
"Iya Oomm.." seperti koor mereka menjawab serentak. Dan makin memperlihatkan kegugupan mereka.
Boleh juga nich. Dan ide-ide cemerlang pun segera bermunculan, barangkali tidak terpikirkan oleh seorang Einstein.
"Sebaiknya istirahat dulu biar fresh pikiran kita, jadi nanti kita akan dengan mudah mengerjakan soal-soal rumit kayak gitu," Saranku menirukan seorang psikiater. Sebab menurut hematku mereka pasti juga turut terangsang mengintip perbuatan kami. Dengan kata lain mereka menyetujui perbuatan itu, kalau nggak setuju yach jelas nggak mau ngintip. Jadi kesimpulannya kalau mereka mau mengintip berarti juga mau untuk berbuat seperti itu.
"Begini, Oom tahu kalau kalian tadi ngintip Oom di kamar. Tapi kalian tidak perlu kuatir sama Oom. Oom nggak marah kok. Malah senang bisa memberi kalian pelajaran baru. Tapi Oom juga kepingin lihat kalian telanjang juga dong, biar adil namanya. Iya, nggak.?"
Seketika wajah mereka bertambah merah padam, antara malu dan takut.
"Maaf Oom, tadi kami tidak sengaja mengintip." kata Indra ketakutan sambil merapatkan pahanya.
"Baiklah kalau begitu Oom tidak mau memaksa kalian, Oom juga sayang sama kalian. Kalian semua cantik-cantik. Sekarang daripada kalian ngintip, Oom nggak keberatan untuk nunjukin burung oom. Lihat yach dan kalian semua harus memegangnya. Yang nggak mau megang nanti Oom telanjangin!" Suaraku bertambah nada ancaman. Dan aku pun segera membuka reitsleting celana sekaligus memelorotkannya berikut celana dalam, hingga burungku yang ngaceng melihat kepolosan mereka langsung nyelonong keluar. Serempak Indra, Lusi, dan Ita menutup wajah mereka. Aku acuh saja mendekati mereka satu persatu dan menarik tangannya untuk memegang burungku. Mulanya tangan mereka kaku sekali tapi jadi mengendur kala menempel burungku.
Nita yang sedari tadi hanya menonton langsung memprotes kelakuanku.
"Sudahlah Oom jangan begitu, lebih baik kita semua telanjang bersama saja, itu memang yang paling adil. Lagian kita juga sudah biasa mandi bersama kok, iya khan teman-teman."
Indra, Lusi, dan Ita diam saja tampak malu-malu mempertimbangkan tawaran Nita.
"Baiklah karena diam berarti kalian setuju. Ayo dong Lus, biasanya kamu yang paling suka membukakan bajuku." Kata Nita sambil menghampiri lalu merangkul Lusi.
"Iya dech saya setuju, tapi asal yang lain juga setuju lho." Lusi mengumpan lampu kuning.
"Oke, Saya juga setuju agar konsekuen dengan perbuatan kita." Ita menimpalinya.
"Demi kalian aku juga boleh-boleh saja." Akhirnya Indra juga memberi keputusan yang melegakan hatiku.
"Nach begitu baru kompak namanya. Yuk kita bareng-bareng ke kamar aja.." Sahut Nita.
Bersambung ke bagian 03
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar